Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021 terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (Jakarta, Kompas.com). Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Ali Hasan mengatakan, data tersebut berdasarkan hasil pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) (Jumat, 19-3-2021). Korban yang mengalami kekerasan seksual bisa juga mengalami kekerasan fisik dan menderita secara psikis. Kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, artinya banyak kasus yang tidak terungkap dan dilaporkan.

Saat ini belum ada upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diatur secara komprehensif. Oleh karena itu, dia menilai Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) perlu segera disahkan. Tentunya kasus kekerasan ini sebagai fenomena gunung es yang terlihat hanya dibagian puncaknya sama dipermukaan saja, sebenarnya permasalahan jauh lebih besar dari itu.

Kasus kekerasan pada perempuan dan anak tahun 2020 ada sekitar 49 kasus diantaranya 40 kasus anak dan 9 kasus perempuan. Data dari Dinas Pengendalian Penduduk, KB, PP dan PA  (DPPKBP3A) Kabupaten Kuningan Tahun 2020 ada 49 kasus. Menurut Kepala DPPKBP3A, Trisman Supriatna, M.Pd melalui Kabid PP (Pemberdayaan Perempuan) Any Saptarini SH., M.Si sementara hingga bulan Februari 2021 sudah ada 5 kasus di kabupaten Kuningan. Tingginya kasus ini membuat semua pihak prihatin. Pihaknya hanya menerima laporan, atau pengaduan, terus mencatat, melakukan analisis kebutuhan, kemudian merujuk kepada ahlinya sesuai kebutuhan kasus.

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara dimasa mendatang. Agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk Tindakan kekerasan pada anak perlu dicegah dan diatasi.

Child abuse seringkali diidentikan dengan kekerasan yang tampak seperti kekerasan fisikal dan kekerasan seksual, padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial juga dapat membawa dampak buruk yang bersifat permanen terhadap anak.

Anak adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya dilindungi dan diasuh dengan baik. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Namun fakta dilapangan menunjukan hal yang berbeda. Anak Indonesia belum memperoleh hak-haknya dengan semestinya. Masih banyak anak Indonesia yang belum memperoleh hak dasarnya dengan baik, seperti pelayanan akta kelahiran, pelayanan Kesehatan dan Pendidikan yang memadai. Anak Indonesia juga tengah mengalami ancaman serius yaitu ancaman eksploitasi dan perilaku kekerasan.

Fakta menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan aktivis dan organisasi penggiat perlindungan anak mengemukakan saat ini Indonesia tengah mengalami gawat darurat kekerasan pada anak. Kemajuan teknologi yang terjadi saat ini telah membawa dampak perubahan bagi masyarakat, baik itu dampak yang positif maupun dampak negatif. Kemajuan teknologi menyebabkan komunikasi antar negara semakin lancar, sehingga kebudayaan luar negeri lebih terasa pengaruhnya. Dampak yang paling terasa adalah pada tata budaya, moral, dan tata sosial masyarakat pada umumnya dan pada generasi muda khususnya. Akhir ini banyak terjadi kasus pelecehan seksual terhadap anak, dimana pelakunya adalah orang dewasa dan kebanyakan adalah yang dikenal oleh korban. Cerita tentang dukun di Cirebon, dimana korbannya adalah gadis-gadis ABG (Anak Baru Gede) yang rata-rata umurnya 12 tahun hingga 14 tahun. Cerita guru yang memperkosa muridnya yang terjadi di Buleleng Bali, kasus Edy Afthan (14 tahun) yang memperkosa Delima (4 tahun) dan Dnc (14 tahun) yang bersetubuh dengan Mega (3 tahun) dan masih banyak lagi. Dalam ilmu jiwa, masa transisi dialami anak mulai usia 10 tahun, dalam bukunya Soedarsono sependapat dengan Andi Mapiere, yang mengutip Elisabeth B. Harlock, yang membagi usia anak remaja yaitu masa pubertas pada usia 10 tahun atau 12 tahun sampai 13 tahun atau 14 tahun, masa remaja pada usia 13 tahun atau 14 tahun sampai 17 tahun, masa remaja akhir (masa dewasa muda) pada usia 17 tahun sampai 21 tahun.

Anderson (1979) dalam Subarsono (2006) mengemukakan bahwa kebijakan publik merupakan tindakan-tindakan yang ditetapkan oleh badan dan aparat Pemerintah. Sementara itu menurut Thomas R Dye (1995), kebijakan publik (public policy) merupakan “what government do or not to do, why they do it, and what difference it makes” yang kurang lebih berarti segala sesuatu apa yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh Pemerintah, mengapa mereka melakukan itu dan apa perbedaan (hasil) akibat yang mereka lakukan tersebut. Definisi yang dikemukakan oleh Thomas R Dye lebih luas dari yang dikemukakan oleh James E Anderson. Thomas R Dye melihat bahwa ketika Pemerintah tidak melakukan apa-apa terhadap suatu masalah publik juga merupakan suatu kebijakan publik. Kebijakan publik juga bukan sesuatu yang bebas nilai. Kebijakan publik harus mengakomodasi nilai dan praktek sosial yang ada di masyarakat. Laswell dan Kaplan (tanpa tahun) dalam Subarsono (2006) mengemukakan bahwa kebijakan publik berisikan tujuan, nilai, dan praktek-praktek sosial yang ada di masyarakat. Adapun fungsi kebijakan publik diantaranya adalah : untuk menyelesaikan berbagai persoalan publik, merespon tuntutan masyarakat, dan melakukan rekayasa sosial untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.

William N. Dunn (2003) mengemukakan bahwa analisis kebijakan publik merupakan kombinasi aktivitas intelektual dan praktis yang bertujuan untuk menciptakan, menilai secara kritis dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun atau menguji teori secara ilmiah dan akademis, analisis kebijakan lebih bersifat praktis yang ditujukan untuk merespon masalah dan krisis yang dihadapi pemerintah. Oleh karena itu, analisis kebijakan bertujuan untuk memproduksi informasi mengenai nilai-nilai dan serangkaian Tindakan yang dapat dipilih untuk mengatasi berbagai masalah publik. Sehingga dengan demikian, analisis kebijakan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai persoalan publik.

Selain itu, menurut Patton dan Sawicki (1993) analisis kebijakan publik dapat dilakukan sebelum ataupun sesudah kebijakan (tindakan) pemerintah dilakukan untuk mengatasi suatu masalah tertentu. Patton dan Sawicki (1993) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan merupakan evaluasi kelayakan teknis, ekonomi dan politik secara sistematis dari berbagai alternatif kebijakan (rencana atau program), strategi untuk implementasi dan konsekuensi dari pelaksanaan suatu kebijakan.

Dengan demikian inti dari produk dari analisis kebijakan adalah rekomendasi kebijakan untuk diimplementasikan. Namun, proses analisis kebijakan merupakan proses yang dilakukan terus menerus dan berkelanjutan, rekomendasi kebijakan yang diimplementasikan dievaluasi dan digunakan sebagai feedback bagi proses analisis kebijakan berikutnya.

Tulisan ini menggunakan kombinasi prosedur analisis kebijakan publik yang dikemukakan oleh William N dunn dan Carl V.Patton dan David S Sawicki. Berikut disajikan gambar prosedur analisis kebijakan public menurut William N Dunn.

Sumber : Dunn, William N (2003), Pengantar analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dari gambar di atas terlihat bahwa Dunn (2003) mengemukakan ada 5 tahapan dalam melakukan analisis kebijakan. Tahapan tersebut adalah :

  1. Perumusan masalah, tahapan ini merupakan tahapan krusial dalam melakukan analisis kebijakan. Kesalahan dalam melakukan perumusan masalah mengakibatkan kesalahan fatal dalam menyusun rekomendasi kebijakan. Tahapan ini menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
  2. Peramalan, tahapan ini menghasilkan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk bila tidak melakukan tindakan apapun.
  3. Rekomendasi, tahapan ini menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah.
  4. Pemantauan, tahapan ini menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
  5. Evaluasi, tahapan ini menghasilkan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengetasan masalah.

Untuk merumuskan masalah kebijakan penanggulangan kekerasan terhadap anak, penulis memutuskan menggunakan teknik analisis hirarkis. Dunn (2003) mengemukakan bahwa analisis hierarki merupakan sebuah teknik untuk mengidentifikasi sebab-sebab yang mungkin dari suatu situasi masalah. Analisis hirarki membantu analisis untuk mengidentifikasi tiga macam sebab, yaitu sebab yang mungkin (possible cause), sebab yang masuk akal (plausible cause) dan sebab yang dapt ditindak lanjuti (actionable cause).

Semakin meningkatnya kasus kekerasan kepada anak dapat dikatakan sebagai akibat dari beberapa sebab-sebab berikut, yaitu aspek psikologi, aspek sosial, aspek budaya, dan aspek hukum.

  1. Aspek psikologis, kekerasan terhadap anak dapat disebabkan karena dewasa ini anggota keluarga/masyarakat terdekat mengalami masalah/penyakit mental. Contoh fenomena yang terjadi : berbagai kondisi dan dinamika masyarakat seperti kesulitan mencari pekerjaan, pendapatan rendah, kemiskinan, permukiman padat dan kumuh, kemacetan, polusi, kesibukan pekerjaan yang tinggi, tuntutan sosial dapat memicu stress pada orang dewasa yang akhirnya dilampiaskan dengan melakukan kekerasan pada anak.
  2. Aspek sosial, kekerasan terhadap anak juga disebabkan karena kurangnya pengendalian sosial (social control) untuk melakukan pengawasan dan perlindungan dari masyarakat terdekat anak. Fakta yang terjadi adalah kekrasan terhadap anak dilakukan oleh orang-orang terdekatnya dan focus kejadiannya di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terdekat. Hal ini menunjukkan kurangnya kepedulian (awareness) dan partisipasi masyarakat dalam mendeteksi, mencegah dan melaporkan terjadinya perilaku kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungannya.
  3. Aspek budaya, Menurut Supeni (2010) kekerasan pada anak juga dapat terjadi karena adanya budaya kekerasan di sebagian masyarakat. Anak dipandang sebagai milik mutlak sehingga harus takluk untuk memenuhi keinginan orang tua. Anak juga dipandang sebagai target, untuk memenuhi ambisi orang tua, dan ketika anak tidak dapat memenuhinya, maka anak akan diperlakukan dengan kekerasan. Selain itu terdapat pula budaya di masyarakat bahwa penggunaan hukuman fisik merupakan bentuk upaya mendisiplinkan anak.
  4. Aspek hukum, dilihat dari beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak diantaranya adalah : hukuman yang diberikan kepada pelaku belum maksimal memberikan efek jera. Saat ini aktivis penggiat perlindungan anak mengusulkan untuk memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak yaitu hukuman kebiri melalui suntikan kimia, walaupun usulan hukuman ini menjadi kontroversi bagi pihak lain.

Masalah substansi (penyebab yang masuk akal) yang dipilih adalah masalah pada aspek sosial, yaitu kurangnya pengendalian sosial (social control) untuk melakukan pengawasan dan perlindungan dari masyarakat terdekat anak. Menurut Varyani, dkk (2014) pengendalian sosial (control sosial) merupakan mekanisme untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan mengarahkan anggota masyarakat untuk bertindak menurut norma dan nilai yang melembaga.

Masalah substantif kekerasan terhadap anak yang dirumuskan penulis adalah masalah pada aspek sosial, yaitu kurangnya pengendalian sosial (social control) untuk melakukan pengawasan dan perlindungan dari masyarakat terdekat anak. Adapun masalah formal (penyebab yang dapat ditindak lanjuti) yang dirumuskan mengenai kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait norma/kaidah perlindungan anak dan kekerasan terhadap anak.
  2. Kurangnya kepedulian (awareness) masyarakat untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini terhadap tindak kekerasan pada anak.
  3. Kurangnya perilaku konkret masyarakat untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini tindakan kekerasan pada anak.
  4. Kurangnya metode/mekanisme perlindungan preventif persuasif (pencegahan, deteksi dini dan pelaporan) kekerasan terhadap anak di masyarakat.

Berdasarkan masalah substantif dan masalah formal yang telah dirumuskan, kebijakan yang direkomendasikan untuk dapat menanggulangi masalah kekerasan terhadap anak adalah kebijakan layanan kids help line. Dalam upaya implementasinya, pemerintah diharapkan memiliki komitmen kuat dan menyediakan sumber daya yang memadai (SDM, anggaran, sarana prasarana IT) agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik sehingga kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat diminimalisasi.

Penulis: Nova Winda Setiati, S.ST., MM., M.Tr.Keb (Sekertaris Program Studi Profesi Bidan STIKes Kuningan, Mahasiswa S3 Kesehatan Masyarakat UNS)

Sumber Ilustrasi Foto: The Lanzarote Convention: a tool against Child Abuse [Twitter], https://www.middleeastmonitor.com/20170802-tunisia-adopts-international-measures-to-protect-children-from-rape/