[stikku.ac.id] – STIKes Kuningan kembali melaksanakan kegiatan rutin kuliah pakar, S1 Kebidanan dan Profesi Bidan Tahun Akademik 2021-2022,  Senin (07/06 ) dengan tema “Maternal and Reproductive Health in Emergency: Case From Rohingya Refugees in Bangladesh”. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin setiap awal semester dengan tujuan membekali mahasiswa dalam mengembangkan ilmu dan meningkatkan kesehatan ibu dan reproduksi pada wanita.

Kegiatan kuliah pakar dilaksanakan secara virtual yang dihadiri oleh Wakil Ketua I Bidang Akademika,  Cecep  Heriana, SKM.,MPH, Ketua Program Studi S1 Kebidanan Ai Nurasiah, S.ST., M.KM., Ketua Program Studi Profesi Bidan Siti Nunung Nurjanah, S.ST., M.KM., Ketua Program Studi DIII Kebidanan Mala Trimarliana, S.ST., M.Kes, dan Narasumber Mr. Sohel Rana, MSS., MPH, seluruh Dosen Kebidanan dan seluruh mahasiswa kebidanan STIKes Kuningan.

Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh Wakil Ketua I STIKes Kuningan yang membuka secara resmi kegiatan Kuliah Pakar sekaligus memaparkan Profil STIKes Kuningan, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi Kuliah Pakar oleh narasumber dengan tema “Maternal and Reproductive Health in Emergency: Case from Rohingya Refugees in Bangladesh” yang dipaparkan oleh  Mr. Sohel Rana, MSS., MPH selaku program manager, ThinWell, Ex. Health Field Coordinator, WHO Emergency Response for Rohingya Refugees.

Kuliah Pakar mengusung tema “Maternal and Reproductive Health in Emergency: Case from Rohongya Refugees in Bangladesh”, kesehatan ibu dan reproduksi dalam keadaan darurat menjadi salah satu prioritas utama bagi pemerintah untuk perbaikan dibidang kesehatan. Kualitas ibu dan reproduksi dalam keadaan darurat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pelayanan kesehatan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain/non kesehatan (sosial, budaya, ekonomi dan lain-lain).

Mr. Sohel Rana, MSS., MPH menjelaskan bahwa Sejak tanggal 25 Agustus 2017, lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya dari Myanmar telah melarikan diri ke Bangladesh. Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas yang sebagian besar adalah Muslim, sedangkan di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha  melarikan diri dari apa yang digambarkan oleh PBB sebagai kekerasan genosida yang terjadi setelah puluhan tahun penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Krisis yang terjadi pada pengungsi Rohingya ini adalah salah satu pergerakan orang terbesar dan tercepat dalam sejarah baru-baru ini yaitu sekitar 880.000 pengungsi Rohingya tanpa kewarganegaraan (189.292 keluarga) yang tinggal di kamp dan juga merupakan pengungsi terbesar dan terpadat di dunia, Cox’s Bazar, bahkan setengah dari pengungsinya adalah anak-anak. Di antara total populasi, 324.359 adalah perempuan usia subur (WRA) yang tinggal di kamp-kamp Pengungsi dan membutuhkan layanan Kesehatan dan Hak-Hak Seksual dan Reproduksi (HKSR). Selain itu, 2,4% dari total populasi, pada suatu waktu tertentu, diperkirakan adalah wanita hamil. Diantaranya adalah 6% dari toal 17.034 persalinan di fasilitas kesehatan dilaporkan dibawah usia 18 tahun.

Masyarakat Rohingya untuk kunjungan  ANC dan PNC ke faslititas pelayanan kesehatan masih sangat rendah di karenakan beberapa tabu (toko) agama masyarakat Rohingya selalu memprovokasi untuk tidak pergi ke fasilitas kesehatan untuk mencari perawatan kesehatan ibu dan reproduksi pada wanita. Dilihat dari Jumlah komplikasi kebidanan yang dilaporkan telah meningkat  4.488 kasus tahun 2020, sebagian besar komplikasi obstetrik yang dilaporkan adalah Perdarahan Pascapersalinan (10% per tahun) dan Preeklamsia / eklampsia berat (7% per tahun), dengan komplikasi lain yang berkontribusi (83% per tahun).

Sehingga untuk mempertahankan kesehatan ibu dan reproduksi pada wanita, mitra kerja kelompok SRH yang ada di Bangladesh berinisyatif untuk menargetkan warga rohingya memiliki minimal 8 kali kontak dengan ibu hamil dengan tujuan untuk mengurangi angka kematian perinatal dan meningatkan pengalaman perawatan kesehatan reproduksi pada wanita. Upaya tersebut terkoordinasi dan tindakan proaktif dari Kelompok Kerja SRH termasuk keterlibatan dengan Sektor Kesehatan, kelompok kerja lainnya dan stakeholder berperan untuk kelangsungan penyediaan layanan SRHR dan pengiriman dalam menghadapi pandemi covid-19.